JATIMTIMES – Di antara taburan bunga di pusara Bung Karno, Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa menundukkan kepala, berdoa. Ziarah itu bukan sekadar bagian dari peringatan HUT ke-80 Pemerintah Provinsi Jawa Timur. Di balik keteduhan suasana makam proklamator itu, Khofifah membawa kegelisahan yang jauh lebih besar: masa depan fiskal daerah yang sedang menghadapi tekanan berat.
Usai ziarah, Khofifah berbicara dengan nada tenang namun sarat makna. Ia mengisahkan pertemuannya dengan Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa beberapa hari sebelumnya di Surabaya. “Kami ini sudah lama kenal, kawan lama,” ujarnya.Namun, di balik pertemanan itu, percakapan mereka kali ini bukan sekadar basa-basi, melainkan tentang angka-angka yang menentukan nasib jutaan warga Jawa Timur.
Baca Juga : Tim Srikandi SMAN 1 Glagah Ukir Sejarah, Tampil Jadi Juara DBL East Java East Series 2025
Menurut Gubernur, sejumlah indikator fiskal daerah menunjukkan penurunan signifikan. Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK) mengalami penurunan tajam, seiring dengan perubahan porsi bagi hasil pajak kendaraan bermotor (PKB) dan bea balik nama kendaraan bermotor (BBNKB). “Sekarang porsinya dibalik antara provinsi dan kabupaten/kota,” ujarnya. Akibatnya, 14 kabupaten/kota mengalami penurunan penerimaan pajak, sementara Pemerintah Provinsi Jawa Timur kehilangan sekitar Rp4,8 triliun dari pendapatan pajak.
Belum cukup di situ, dana transfer dari pusat juga menyusut. Berdasarkan catatan Pemprov, penurunan dana transfer daerah di Jawa Timur mencapai Rp2,8 triliun. “Kalau dijumlahkan, total penurunan fiskal daerah kita mencapai sekitar Rp7,6 triliun,” kata Khofifah. Ia menjelaskan, kondisi serupa terjadi di hampir seluruh provinsi. Sumatera Selatan, misalnya, mengalami pengurangan sekitar Rp2 triliun. Secara nasional, pemotongan dana transfer daerah tahun 2025 mencapai Rp16,7 triliun.
“Dampaknya sangat terasa, terutama bagi daerah dengan ketergantungan tinggi pada transfer pusat,” ujar Khofifah. Ia mencontohkan Kabupaten Lumajang yang, menurut laporan keuangannya, hanya memiliki kemampuan membayar gaji pegawai hingga Agustus atau September. “Ini harus jadi perhatian bersama,” katanya menegaskan.
Dalam pertemuan di Surabaya, Khofifah menyampaikan langsung kepada Menteri Keuangan tentang risiko pengurangan anggaran terhadap pelayanan dasar masyarakat. Ia khawatir, pemangkasan anggaran yang terlalu dalam dapat menekan belanja wajib untuk layanan dasar seperti pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur.“Kalau spending mandatory sampai berkurang, layanan dasar masyarakat bisa ikut terpengaruh,” ujarnya.
Menteri Keuangan, kata Khofifah, merespons dengan terbuka. Ia bahkan meminta tim Pemprov Jatim menyiapkan catatan tertulis untuk dikaji lebih lanjut. Setelah mempelajari masukan dari Jawa Timur, pemerintah pusat kemudian mengundang Asosiasi Pemerintah Provinsi untuk berdialog lebih luas. Dalam forum tersebut, Wakil Gubernur Emil Elestianto Dardak hadir mewakili Jatim.
“Beliau sangat terbuka, mendengarkan satu per satu masukan dari daerah.Dan saya bersyukur, karena kesempatan itu menunjukkan bahwa pusat dan daerah kini mulai duduk bersama, tidak lagi berjalan sendiri-sendiri,” tutur Khofifah.
Bagi Khofifah, komunikasi fiskal semacam ini adalah bentuk nyata pemerintahan modern yang berorientasi pada sinergi, bukan subordinasi.
“Kita sama-sama berikhtiar mencari solusi. Kalau satu pihak hanya menerima tanpa bisa menyampaikan kondisi di lapangan, kebijakan pusat bisa tidak tepat sasaran,” katanya.
Salah satu alternatif solusi yang diajukannya adalah menaikkan porsi Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT) dari 3 persen menjadi 10 persen. Menurut Khofifah, kebijakan ini dapat membantu menutup sebagian kekurangan pendapatan daerah akibat pemotongan dana transfer. “Kalau DBHCHT dinaikkan, kabupaten/kota yang punya basis produksi tembakau masih bisa menjaga layanan dasar masyarakat,” ujarnya.
Diskusi antara Gubernur dan Menteri Keuangan berlangsung santai namun substansial. Khofifah menggambarkan suasananya penuh keterbukaan, jauh dari kaku. “Kita berdiskusi secara terbuka. Beliau sangat berkenan mendengar apa yang kami sampaikan,” katanya.Dari dialog tersebut, pemerintah pusat kemudian meminta data rinci khusus untuk Jawa Timur, sebuah indikasi bahwa masukan dari provinsi ini menjadi salah satu referensi penting dalam evaluasi nasional.
Meski berat, Khofifah tetap menilai situasi ini sebagai momentum untuk memperkuat kolaborasi fiskal antarlevel pemerintahan. “Kalau kita bisa menata ulang perimbangan fiskal secara adil dan rasional, daerah bisa tetap bergerak tanpa mengorbankan pelayanan publik,” ujarnya optimistis.
Kepada para kepala daerah di Jawa Timur, Khofifah berpesan agar tetap tenang dan fokus menjaga stabilitas layanan publik. Ia mengingatkan bahwa kondisi fiskal yang ketat bukan alasan untuk menurunkan kualitas pelayanan kepada masyarakat. “Tugas kita memastikan rakyat tidak menjadi korban dari penyesuaian kebijakan fiskal ini,” katanya.
Ziarah ke Makam Bung Karno menjadi refleksi dan tekad baru. Khofifah meneguhkan komitmen membangun kemandirian fiskal dengan semangat gotong royong antara pusat dan daerah.
Baginya, pemerintah daerah harus jadi garda terdepan pelayanan publik. Di balik angka-angka anggaran, ia melihat kehidupan rakyat yang harus dijaga.