JATIMTIMES – Dukungan terhadap pelajar pegiat literasi yang ditangkap Polres Kediri atas tuduhan provokasi terus mengalir. Terbaru dukungan mengalir dari PC IPNU Banyuwangi. Direktur Student Crisis Center (SCC) Pimpinan Cabang (PC) Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU) Banyuwangi M. Fathur Rozak menyampaikan literasi membaca, menulis, berdiskusi merupakan bagian integral dari perjalanan intelektual seorang pelajar. "Dalam Islam, perintah "iqra’" menguatkan bahwa menuntut ilmu dan berpikir adalah amalan yang sangat mulia," kata Rozak dalam rilis yang diterima wartawan pada Kamis (25/9/2025) malam
Fathur Rozak mengungkapkan rasa prihatin menanggapi peristiwa penangkapan seorang pelajar yang dianggap sebagai provokator demonstrasi dan penyitaan sejumlah buku milik pelajar asal Nganjuk di Kediri, yang disebut oleh aparat sebagai “pegiat literasi,”.
Baca Juga : Dorong Profesionalisme dan Semangat Pengabdian,Mbak Wali Lantik 23 Pejabat Tinggi Pratama
Menurut dia, sebagai organisasi pelajar yang berlandaskan nilai-nilai keislaman Ahlussunnah Wal Jamaah dan semangat keadilan, IPNU Banyuwangi kebebasan literasi dan pengetahuan adalah hak dasar pelajar.
Fathur Rozak menuturkan menjadikan aktivitas literasi sebagai “kecurigaan” atau dasar penangkapan tanpa klarifikasi terbuka adalah tindakan yang bertentangan dengan semangat kebebasan intelektual. Pelajar bukan objek represi; mereka adalah agen pembaruan.
Lebih lanjut Fathur Rozak mengungkapkan penangkapan dan penyitaan buku tanpa transparansi: bentuk represi yang harus dikritisi. Pihaknya menolak setiap langkah represif yang dilakukan tanpa prosedur hukum yang jelas dan terbuka. apabila aparat menahan pelajar atau menyita buku, maka harus ada dasar hukum yang jelas dan dapat diuji (apakah buku tersebut benar melanggar undang-undang, ataukah tuduhan bersifat asumsi).
“Pelajar dan/atau keluarganya harus dipanggil dan diberi kesempatan membela diri. Penyitaan buku harus melalui proses penilaian konten yang transparan, bukan dilakukan sewenang-wenang,” tambah Fathur Rozak
Menurut dia, langkah aparat menyita buku sebagai barang bukti tanpa transparansi dan tanpa proses banding adalah bentuk intimidasi terhadap kebebasan intelektual dan bisa menimbulkan efek jera bagi pelajar lain.
pada prinsipnya PC IPNU Banyuwangi menghormati fungsi negara dalam menjaga keamanan nasional, ketertiban umum, dan mencegah penyebaran ide ekstremisme. Namun, aparat juga tidak boleh menjadikan “keamanan” sebagai dalih mutlak untuk membungkam pengungkapan gagasan kritis.
Dalam paradigma keislaman yang menolak hierarki manusia atas manusia (sebagaimana dicerminkan dalam gagasan tafsir anarkis atas Islam), negara bukanlah entitas bebas dari pengujian moral dan akal. “Bila aparat melakukan tindakan yang melampaui batas, maka aparat itu sendiri harus dipertanggungjawabkan dan dikritik,” imbuh Fathur Rozak .
Untuk IPNU Banyuwangi mendesak aparat Kediri untuk segera mengumumkan secara terbuka dasar hukum dan fakta-fakta yang melatarbelakangi penangkapan pelajar tersebut.
Selanjutnya meminta pemerintah daerah setempat, pihak kepolisian, dan Dinas Pendidikan untuk memfasilitasi dialog publik sebagai sarana klarifikasi dan penyejukan suasana.
Baca Juga : Puluhan ASN Pemkab Banyuwangi Ikuti Pendidikan dan Pelatihan Bahasa Isyarat
IPNU Banyuwangi mengharapkan proses penegakan hukum terhadap pelajar tersebut disertai hak-hak dasar, pendampingan hukum, pemeriksaan terbuka, restitusi jika terbukti penahanan atau penyitaan tidak sah.
“Pemerintah pusat maupun daerah untuk memperkuat perlindungan kebebasan berpendapat dan literasi di kalangan pelajar sebagai bagian dari pembangunan karakter bangsa,” ujar Fathur Rozak.
Sebagai wujud tanggung jawab kami terhadap dunia pelajar di Banyuwangi, IPNU Banyuwangi akan menjadikan kasus ini sebagai bahan pengkaderan kesadaran bahwa pelajar harus tahu hak-haknya dan berani menyuarakannya secara bijak.
Membuka forum diskusi, workshop literasi kritis, dan advokasi bagi pelajar yang merasa haknya terlanggar. Bekerja sama dengan lembaga hukum, organisasi pelajar di luar Banyuwangi, dan media untuk menjaga agar kasus sejenis tidak menimpa pelajar Banyuwangi.
Fathur Rozak menambahkan pihaknya mendorong terbentuknya Ruang Aman Pelajar (sebagaimana PC IPNU–IPPNU Banyuwangi pernah sampaikan usulan kepada Pemkab) agar ruang keberanian berpendapat dan pengaduan pelajar terhadap tindakan represif bisa terwadahi.
Kasus penangkapan pelajar di Kediri, lanjut Fathur Rozak menjadi pengingat bahwa perjuangan pelajar terhadap literasi, keadilan, dan ruang kebebasan bukanlah perkara kecil. Bila dibiarkan, tindakan represif semacam ini akan menciptakan atmosfir ketakutan di kalangan pelajar, yang pada akhirnya membungkam potensi intelektual generasi penerus bangsa.
“IPNU Banyuwangi menegaskan: akan tetap mengawal, memberi suara bagi pelajar, dan menolak kultur pembungkaman. Kita lakukan itu bukan semata dalam semangat perlawanan, tetapi dalam semangat keislaman yang adil, rahmah, dan berpihak pada kebenaran,” pungkas Fathur Rozak.